Selasa, 18 Oktober 2011

Pengaruh Konservasi Hutan Mangrove Terhadap Kelangsungan Seluruh Ekosistem di Kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang Kabupaten Pahuwato, Provinsi Gorontalo
oleh: Medina Ayesha Serlin 3609100030

Hutan Mangrove
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin.
Selain berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan, tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas di daerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar. Di pantai yang tidak ada sungainya, daerah mangrovenya sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi besar terhadap kadar garam dan dapat berkembang di daratan bersalinitas tinggi di mana tanaman biasa tidak dapat tumbuh.
Daerah hutan Mangrove dunia yang diperkirakan seluas 15.429.000 ha, 25 % nya meliputi garis pantai kepulauan Karibia dan sampai 75 % meliputi daerah pantai lainnya seperti di kawasan Amerika Selatan dan Asia. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Di Indonesia sendiri luas hutan Mangrove diperkirakan meliputi areal sekitar 4,25 juta ha atau sekitar 27 % luas Mangrove di dunia. Kondisi hutan Mangrove yang ada saat ini setengahnya telah mengalami kerusakan.

Kerusakan Mangrove di Kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang Kabupaten Pahuwato, Provinsi Gorontalo

Indonesia memiliki 75 persen hutan mangrove yang ada di Asia, dan 27 persen hutan mangrove yang ada di dunia. Sebagian besar mangrove itu berada di pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kondisi itu sebenarnya terus menurun sekitar 200 ha per tahun akibat berbagai faktor yang terjadi di lokasi-lokasi hutan itu.
Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Dari 3000 ha luas magrove yang terdapat di Tanjung Panjang, Pahuwoto sekitar 1.115 ha hutan mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang Pohowoto, Gorontalo telah mengalami kerusakan akibat perambahan hutan dan alih fungsi menjadi tambak. Seluruh tambak yang terdapat di Kawasan Mangrove Tanjung Panjang dimiliki oleh pengusaha yang berasal dari Sulawesi Selatan. Bahkan di antaranya tergolong rusak berat dan sudah menjadi hamparan kosong karena pohon mangrove dibabat habis. Padahal kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang, seluas 3.000 hektare dari luas desa ini ditetapkan sebagai kawasan suaka alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 1985 silam. Tak hanya terdapat mangrove Di kawasan cagar alam  ini juga hidup babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan kera hitam. Burung maleo (Macrocephalon maleo) endemik Sulawesi, dilaporkan masih ada di daerah ini, tetapi sekarang menghilang.
Bahkan kontribusi untuk masyarakat desa sekitar yang diberikan oleh para pemilik tambak tersebut, hanya dalam bentuk   pajak sebesar 30 ribu rupiah perhektar. Sedang luasan tambak yang tercatat memiliki pajak  hanya sekitar 100 hektar (dari 1.115 hektar). Selain itu banyak konversi mangrove menjadi tambak itu, justru cenderung direstui pemerintah daerah, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat.
Kerusakan Mangrove di Kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang Kabupaten Pahuwato, Provinsi Gorontalo membawa pengaruh dan dampak negatif antara lain: abrasi laut, kerusakan pantai, dan kelangsungan hidup ekosistem yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain:
1. Penanaman kembali
Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya peluang kerja sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat. Mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan hutan mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya ekosistem hutan mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove tersebut.
2. Izin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
Problematika konservasi, seperti industri pertambakan yang tidak terkendali dirujuknya sebagai faktor yang meyumbang sangat signifikan bagi rusaknya ekosistem mangrove di banyak kawasan pesisir di Tanah Air. Pemerintah dalam hal ini harus lebih cermat dalam memberikan izin pembukaan hutan ditinjau dari Undang-undang Kehutanan No 41/1999, Undang-undang Tata Ruang No 26/2007, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 259/2000 tentang Penetapan Status Kawasan Hutan.
3. Langkah persuasif dalam mensosialisasikan kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan hidup
Kerusakan Mangrove merupakan intervensi secara berlebih-lebihan yang dilakukan oleh manusia. Maka dari itu dari pemerintah, LSM, lembaga terkait untuk dapat terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyeimbang dalam suatu sistem kehidupan. Dampak yang disebabkan oleh kerusakan hutan mangrove juga perlu diberitahukan kepada masyarakat daerah pesisir agar semakin menumbuhkan kesadaran masyarkat. Peringatan hari Mangrove se-dunia yang jatuh setiap tanggal 26 Juli, juga perlu diangkat menjadi wacana global tentang pentingnya kelestarian hutan mangrove.
4. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
Salah satu hal yang mungkin dilupakan oleh pemerintah yaitu peningkatan pendapatan masyarakat di kawasan pesisir. Hal ini akan berdampak masyarakat akan bertindak semaunya dalam mengeksploitasi hutan mangrove demi tercukupinya kebutuhan hidup. Dikhawatirkan pula masyarakat juga mudah terlena dengan iming-iming keuntungan yang diperoleh dari pembukaan hutan mangrove secara ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
5. Pengawasan terpadu terhadap pengelolaan ekosistem mangrove
Saat ini perlu dikembangkan suatu pola pengawasan terpadu terhadap pengelolaan ekosistem mangrove melibatkan masyarakat. Masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengawasan pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pengawasan dapat dilakukan pengawasan dimulai dari tahap sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi.
6. Penegakan hukum
Perusakan kawasan mangrove dapat dikategorikan praktek kejahatan lingkungan (environmental crimes), diperlukan sangsi yang sesuai dalam penegakan hukum yang adil dan konsisten. Penegakan hukum dan konservasi yang efektif bukan sekedar menghukum para pelaku pengrusakan, tetapi juga menelusuri pihak-pihak yang mendukung terjadinya penebangan liar tersebut. Mulai dari pemodal, jalur distribusi, para birokrat dari tingkat daerah sampai pusat, Aparat Kepolisian, TNI, anggota DPRD/DPR, pengacara, maupun hakim di pengadilan.
Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove di era otonomi daerah dewasa ini, hendaknya pemerintah lebih banyak melibatkan unsur masyarakat. Upaya rehabilitasi hutan mangrove harus dilakukan oleh seluruh pihak yang tidak terlepas dari masyarakat di daerah pesisir. Masyarakat jangan dianggap sebagai obyek pembangunan, melainkan sebagai subyek pembangunan. Apalagi dalam alam reformasi dan demokratisasi ini masyarakat telah sadar, pandai dan berani untuk menuntut hak-haknya, karena masyarakat tahu bahwa seharusnya mereka sebagai subyek pelaksana pembangunan mereka pulalah yang akan menikmati hasil pembangunan tersebut khususnya dalam bidang proteksi abrasi air laut dan perikanan. Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. 

Senin, 03 Januari 2011

Untuk Indonesia

Penduduk adalah Orang yang secara hukum berhak tinggal di suatu daerah tertentu dan mempunyai surat resmi untuk tinggal.Di setiap negara tentunya memiliki jumlah dan pertumbuhan yang berbeda. Oleh karena itu masing-masing negara juga memiliki permasalahan penduduk yang berbeda pula. Sebagai negara yang sedang berkembang Indonesia memiliki masalah-masalah kependudukan yang cukup serius dan harus segera diatasi. Masalah-masalah kependudukan di Indonesia pun bermacam-macam yaitu jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan penduduk cepat, persebaran penduduk tidak merata dan tinggi nya jumlah pengangguran.
Sebenarnya, masalah kependudukan ini sudah bisa diatasi dengan baik bila saja sejak dulu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Sayangnya, hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih banyak orang yang menentang program KB. Kalau pun sudah ada yang menyetujuinya, umumnya mereka masih enggan melaksanakannya, karena pemikiran orang jaman dahulu masih terpaku dengan slogan “ banyak anak banyak rejeki” dengan pandangan masyarakat yang salah itu lah jumlah penduduk Indonesia  kian bertambah dan mungkin akan menyebabkan meledaknya jumlah penduduk suatu hari nanti.
Semakin banyak penduduk berarti semakin banyak areal persawahan dan hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk karena adanya urbanisasi penduduk desa ke kota.Perkembangan urbanisasi di Indonesia perlu dicermati karena dengan adanya urbanisasi ini, kecepatan pertumbuhan perkotaan dan pedesaan menjadi semakin tinggi. Pada tahun 1990, persentase penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada tahun 2000 angka tersebut berubah menjadi 42 persen. Diperkirakan pada tahun 2025 keadaan akan terbalik dimana 57 persen penduduk adalah perkotaan, dan 43 persen sisanya adalah rakyat yang tinggal di pedesaan. Dengan adanya sentralisasi pertumbuhan dan penduduk, maka polusi pun semakin terkonsentrasi di kota-kota besar sehingga udara pun semakin kotor dan tidak layak.
Kota-kota besar terutama Jakarta adalah sasaran dari pencari kerja dari pedesaan dimana dengan adanya modernisasi teknologi, rakyat pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan kampungnya. Secara statistik, pada tahun 1961 Jakarta berpenduduk 2,9 juta jiwa dan melonjak menjadi 4,55 juta jiwa 10 tahun kemudian. Pada tahun 1980 bertambah menjadi 6,50 juta jiwa dan melonjak lagi menjadi 8,22 juta jiwa pada tahun 1990. Yang menarik, dalam 10 tahun antara 1990-2000 lalu, penduduk Jakarta hanya bertambah 125.373 jiwa sehingga menjadi 8,38 juta jiwa. Data tahun 2007 menyebutkan Jakarta memiliki jumlah penduduk 8,6 juta jiwa, tetapi diperkirakan rata-rata penduduk yang pergi ke Jakarta di siang hari adalah 6 hingga 7 juta orang atau hampir mendekati jumlah total penduduk Jakarta. Hal ini juga disebabkan karena lahan perumahan yang semakin sempit dan mahal di Jakarta sehingga banyak orang, walaupun bekerja di Jakarta, tinggal di daerah Jabotabek yang mengharuskan mereka menjadi komuter.
Pada akhirnya, pertumbuhan populasi yang tinggi akan mengakibatkan lingkaran setan yang tidak pernah habis. Populasi tinggi yang tidak dibarengi dengan lahan pangan dan energi yang cukup akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara supply dan demand yang bisa menyebabkan harga menjadi mahal sehingga seperti yang sedang terjadi sekarang, inflasi semakin tinggi, harga bahan makanan semakin tinggi sehingga kemiskinan pun semakin banyak. Semakin menurunnya konsumsi masyarakat akan menyebabkan perusahaan merugi dan mem-PHK karyawannya sebagai langkah efisiensi, sehingga semakin banyak lagi pengangguran dan rakyat miskin.
Oleh karena jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dari tahun ke tahunnya diperlukan adanya penekanan jumlah penduduk untuk mengantisipasi hal-hal yang nantinya akan berdampak lebih parah ke dalam pembangunan, oleh karena itu adanya KB sangat membantu dalam hal meminimalisir adanya peledakan jumlah kependudukan nantinya.