Selasa, 10 Januari 2012

PENGENDALIAN PERKEMBANGAN KOTA: BELAJAR DARI KEGAGALAN PENERAPAN PERATURAN PENGELOLAAN PERKEMBANGAN DI KOTA MIAMI, FLORIDA.

Pada dekade terakhir ini, banyak kota besar di dunia berupaya mengendalikan perkembangan fisiknya agar tidak meluas tak terkendali (sprawl). Perluasan secara horizontal tak terkendali tersebut juga terjadi di Jakarta yang menyebabkan berbagai masalah perkotaan besar, sepeti perlunya anggaran besar untuk pemeliharaan prasarana jalan kota, karena terlalu panjangnya jalan yang harus dipelihara tiap tahunnya. Beberapa upaya fisik kota berhasil di beberapa tempat, misalnya di Kota Lexington-Fayette, di negara bagian Kentucky, AS (Djunaedi, 2000). Beberapa lainnya dianggap kurang berhasil, seperti dijumpai dalam penetapa Peraturan Pengelolaan Pertumbuhan (Growth Management Act) 1985 di Kota Miami, di negara bagian Florida AS.
PERATURAN PENGENDALIAN NEGARA BAGIAN FLORIDA
Secara keruangan, perkembangan keruangan itu terjadi di koridor bagian tengah dari negara bagian ini, yaitu kota Tampa, melalui Orlando, ke Daytona Beach. Perkembangan kota-kota secara tak terkendali di Florida ini, menurut Colburn dan deHaven-Smith (1999:121) menimbulkan 3 masalah, yaitu:
a)      Masalah lingkungan, berupa polusi air, kelangkaan air minum, kerusakan kehidupan binatang liar dan habitatnya, serta degradasi kualitas lingkungan
b)      Masalah sosial, meliputi kemiskinan di kota dan kerusuhan rasial perkotaan, dan
c)       Masalah politis, meliputi krisis fiskal dan ketidakcukupan layanan fasilitas umum.
Salah satu sebab terjadinya pertumbuhan yang pesat pada negara bagian Florida adalah karena negara bagian ini mempunyai sejarah panjang dalam mempromosikan pertumbuhan wilayah, hal ini mulai dirasakan pada tahun 1969. Pada tahun tersebut beberapa kelompok pelesatarian lingkungan (environmental groups) berhasil memobilisasi masyarakat untuk menghentikan pembangunan lapangan terbang khusus jet di daerah yang secara ekologis rawan yaitu di Everglades, sebelah barat kota Miami. Kejadian tersebut disusul dengan bencana kekeringan pada tahun 1971 hal ini mendorong dibuatnya Peraturan Pengelolaan Lingkungan Tanah dan Air pada tahun 1972.
Daerah kritis yang diperhatikan negara bagian meliputi lahan atau kawasan rawan ekologis, kawasan/daerah yang mempunyai dampak atau terkena dampak dari pembangunan prasarana atau fasilitas umum utama dan kawasan/daerah yang mempunyai potensi pengembangan berskala besar. Peraturan diatas menjelaskan yang dimaksud dengan pengembangan berdampak regional adalah setiap pengembangan yang karena karakteristik, ukuran, atau lokasinya dapat menyebabkan pengaruh atau dampak besar terhadap kesehatan, keselamatan atau kesejahteraan penduduk di lebih dari 1 kabupaten. Kedua konsep tersebut masih dipakai dalam peraturan perundangan Florida sampai saat ini.
UPAYA NEGARA BAGIAN UNTUK MENGENDALIKAN PERKEMBANGAN
Upaya negara-negara bagian di Amerika dalam mengendalikan perkembangan kota-kotanya terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama, terjadi pada awal tahun 1970an, yang menekankan pada isu pelestarian lingkungan, sedangkan gelombang kedua yang dimulai pada pertengahan tahun 1980an, menangani beberapa isu yang lebih luas.
Secara tradisional di Amerika Serikat dipraktekkan 3 macam perkembangan fisik kota, yaitu:
1)      Pemintakan (zoning)
2)      Peraturan pengkaplingan (subdivision regulations), dan
3)      Program pembangunan prasarana dan fasilitas umum.
Karena ketiga cara ini mengandung kelemahan, maka diciptakan beberapa inovasi baru tentang pengendalian pemekaran fisik kota, antara lain:
1)      Persyaratan ketersediaan fasilitas umum yang memadai.
2)      Program pertumbuhan bertahap (growth phasing programs); cara ini mengatur baik lokasi maupun waktu yang tepat bagi pembangunan fisik baru berdasarkan fasilitas umum yang tersedia atau akan disediakan
3)      Batas wilayah pertumbuhan perkotaan (urban growth bundaries): dengan metode ini, suatu garis batas dibuat mengelilingi kota sebagai batas pertumbuhan fisik kota dan untuk menghindari meluasnya kota secara tak terkendali (urban sprawl)
4)      Program tingkat pertumbuhan (rate-of growth programs): program ini mencerminkan tingkat perkembangan fisik yang diperbolehkan dalam suatu tahun
5)      Eksaksi (exactions) yaitu pengembang diharuskan membayar untuk peningkatan prasarana yang diperlukan oleh pembangunan fisik baru
6)      Kapasitas atau daya dukung (carrying capacity): menunjukkan batas atas jumlah penduduk yang dapat mendiami suatu area.
Dalam kajian kasus Miami, Florida ini metode pengendalian fisik kota yang dipakai adalah cara pertama.
PERKEMBANGAN KOTA MIAMI
Kota Metropolitan Miami terletak di sepanjang ujung tenggara dari semenanjung Florida. Luas kota ini lebih dari 2000 mil persegi dan sepertiganya termasuk dalam Everglades National Park yang merupakan daerah reservoir air bersih. Kota Miami merupakan salah satu kota metropolitan yang populasi penduduknya paling cepat berkembang di AS. Empat puluh tahun yang lalu kota ini tidak dianggap sebagai kota metropolitan yang kecil. Tapi setelah 40 tahun populasi penduduknya meningkat pesat.
Kegagalan penerapan pengendalian perkembangan kota Miami:
Menurut Stanilov dan Hinshiranan ( 1999; 20-22) dalam surveynya ke kota Miami, merumuskan temuannnya bahwa kegagalan penerapan peraturan pengelolaan perkembangan kota tersebut terletak pada tiga masalah utama, sebagai berikut:
1)      Masalah Pemerintahan
a.       Pendekatan top-down yang kuat dalam sistem perencanaan di negara bagian Florida mengurangi kreativitas organisasi pemerintahan di bawahnya. Termasuk dalam hal ini otonomi pemerintah lokal tereduksi karena kebijakan perencanaan  guna lahan tersentralisasi di tingkat negara bagian.
b.      Kurangnya “kemauan politik” untuk menerapkan peraturan pengendalian perkembangan tersebut.
c.       Penerapan peraturan Growth Management Act (GMA) yang mementingkan aturan administrasif bukan berdasarkan pada pendekatan visi masa depan
d.      Selain itu, GMA berbasis pendekatan minimalis, yaitu mensyaratkan diterapkannya standar minimal dan tidak menyediakan insentif untuk pencampaian yang diatas standar minimal tersebut.
2)      Masalah peningkatan sprawl
a.       Batas perkembangan yang tidak mengatasi masalah. Dalam hal ini, State department of Community Affairs (DCA) mengijinkan pemerintah lokal untuk merencanakan batas perkembangan fisik kotanya jauh melampaui kebutuhan, yaitu dihitung untuk 40 tahun ke masa depan. Termasuk dalam hal ini DCA mengijinkan perencanaan lahan untuk jutaan rumah tinggal, dan faktanya hanya kurang 15% yang dapat diserap oleh pasar. Karena luasnya batas area perkembangan kota yang diijinkan, pengembang perumahan lebih cenderung memilih tanah pedesaan yang jauh dari kota. Lebih murahnya harga meskipun tingkat layanan fasilitas perkotaannya lebih rendah. Sehingga mendorong terjadinya sprawl.
b.      Kebijakan pembangunan prasarana perkotaan. Penerapan peraturan GMA juga mendorong alokasi dana pemerintah untuk membiayai pembangunan jalan ke daerah-daerah yang belum terkembangkan, sehingga mendorong perkembangan fisik ke arah kota dan terjadilah sprawl
c.       Tidak ada insentif untuk pembangunan yang terkonsentrasi
3)      Masalah Partisipasi Masyarakat
a.       Kurangnya masukan dan partisipasi dari masyarakat ke proses perencanaan
b.      Komunikasi yang buruk: terutama pada pemakaian bahasa yang kurang dipahami oleh kebanyakan penduduk
c.       Masyarakat kurang berminat untuk menuntut kegagalan penerapan pengendalian kota ke pengadilan (karena kurangnya dana).
Dari bahasan diatas dapat ditarik kesimpulan teoritik bahwa perkembangan atau pertumbuhan yang terjadi secara lintas kota akan lebih efektif ditangani oleh negara bagian dengan syarat bahwa:
a.       Antara dinas-dinas negara bagian dan antar kota
b.      Cukup adanya partisipasi dan kreativitas pada pemerintah lokal dalam menjalankan arahan umum pengendalian perkembangan dari tingkat negara bagian.
Pengendalian perkembangan kota di Indonesia berdasar ketersediaan prasarana jalan
Pada iklim tropis, seperti di Indonesia pada dasarnya orang dapat bermukim dimanapun tanpa terkait dengan ketersediaan prasarana perkotaan (jalan, listrik, telpon). Dengan demikian, pengendalian perkembangan fisik kota dikaitkan dengan ketersediaan prasarana jalan merupakan tantangan yang besar yang sulit untuk berhasil tanpa law enforcement yang kuat. Padahal kondisi ketertiban dan penegakan hukum saat ini relatif lemah. pengendalian dengan memberikan “ daya tarik” dapat dilakukan yaitu membangun prasarana jalan ke daerah/lokasi yang diarahkan untuk menjadi perluasan pembangunan fisik kota. Tapi, tindakan ini akan memacu peningkatan harga tanah yang akibatnya mengurangi minat penduduk (yang tidak mampu menjangkau harga tanah tersebut) untuk bermukim disitu. Berdasar bahasan ini, tampaknya pengendalian perkembangan fisik kota terkait dengan ketersediaan prasarana sebagai peraturan yang mempersyaratkan masih akan sulit diterapkan di Indonesia.
Pengendalian perkembangan kota multi-etnis
Pada kasus Miami, pemerintah melakukan cara komunikasi (bahasa inggris) dan pendekatan yang seragam terhadap semua penduduk yang multi-etnis (yang tidak semuanya mampu memahami bahasa inggris). Cara ini mengurangi partsisipasi masyarakat  dalam penerapan pengendalian perkembangan kota. Di Indonesia permasalahan bahasa tampaknya tidak mempunyai habatan sehingga komunikasi bahasa tidak menjadi masalah.

Senin, 02 Januari 2012

Revitalisasi Pasar Tradisional dengan Sistem Build Operate and Transfer (BOT) Studi Kasus: Pembangunan Sentral Pasar Raya Padang



Sumber daya alam merupakan unsur yang sangat penting untuk menunjang perekonomian di Indonesia. Pelaksanaan perekonomian yang ingin dicapai diperlukan banyak hal seperti sumber daya manusia, manajemen yang baik, stabilitas politik yang mantap dan faktor penting lainnya adalah sumber modal sebagai pendukungnya. Potensi yang beraneka ragam yang dimiliki berbagai daerah membuat pemasukan yang didapatkan oleh masing-masing daerah tidak sama. Demikian pula dalam pemenuhan kebutuhan belanja daerah, berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Terutama sejak dikeluarkan Undang-undang tentang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Salah satu sumber daya alam yang sangat penting adalah tanah. Tanah sebagai penopang kehidupan bagi masyarakat sebagai tempat untuk hidup dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan aktivitas ekonomi terhadapnya. Khususnya bagi Pemerintah Daerah yang ingin menambah pemasukan daerah dengan memberdayakan sumber daya alam yang ada di daerahnya dengan membangun fasilitas-fasilitas umum demi kepantingan masyarakat seperti sarana pendidikan, transportasi, pelabuhan, perhubungan dan lain-lain. Mengembangkan jasa pelayanan infrastruktur publik melalui kerja sama dengan pihak swasta dibutuhkan karena :
1.    Permintaan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan Pemerintah dalam menyediakan jasa pelayanan infrastruktur.
2.    Kebutuhan investasi yang sangat besar tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah saja, hanya sekitar 50 % dari perkiraan investasi prasarana dapat terpenuhi APBN, keuntungan BUMN, dan bantuan pembangunan dari luar negeri.
3.    Kerja sama pihak swasta memberikan tambahan sumber pendanaan prasarana dan kemampuan manajerial yang baik.
4.    Dalam rangka persaingan global, kemitraan Pemerintah dan swasta dapat mempercepat penyediaan infrastruktur sekaligus meningkatkan efisiensi kualitas jasa pelayanan.
5.    Pembangunan isfrastruktur harus diperlakukan sebagai kegiatan bisnis.
6.    Menciptakan paradigma baru dalam penyediaan jasa pelayanan infrastruktur dari monopoli ke suatu model kompetitif.
7.    Melindungi kepentingan umum.
Salah satu sarana umum yang penting adalah pembangunan pasar. Pentingnya untuk merevitalisasi pasar karena alasan kebutuhan masyarakat yang semakin banyak dan kondisi pasar tradisional yang tidak memadai sehingga diperlukan penertiban. Pembangunan pasar yang lebih teratur untuk dialokasikan sedemikian rupa sehingga dapat memperbaiki tata ruang kota serta dapat menambah pemasukan bagi daerah.
Revitalisasi pasar tradisional menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan pasar tradisional yang menjadi penggerak ekonomi daerah agar tidak ditinggalkan konsumen karena perkembangan pasar-pasar modern yang menjamur belakangan ini. Bagi Pemerintah Daerah pembiayaan pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) juga dirasakan semakin terbatas jumlahnya, untuk itu dibutuhkan pola-pola baru sebagai alternatif pendanaan yang tidak jarang melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek-proyek Pemerintah.
Kerja sama tersebut dimanifestasikan dalam bentuk perjanjian. Adapun bentuk kerja sama yang ditawarkan antara lain Joint Venture berupa production sharing, manajemen contract, technical assistance, franchise, joint enterprise, portofolio investmen, build operate and transfer (BOT) atau bangun guna serah dan bentuk kerja sama lainnya.
Sebagai salah satu alternatif yang dapat dipilih yaitu perjanjian kerja sama sistem bangun guna serah atau build operate and transfer (BOT). Sistem perjanjian ini juga banyak digunakan dalam hal perjanjian antara Pemerintah dengan swasta dalam membangun sarana umum lainnya seperti sarana telekomunikasi, jalan tol, tenaga listrik, pertambangan, pariwisata dan lain-lain.
Bangun guna serah atau build operate and transfer adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir. Hal terpenting dari kerja sama yang dilakukan adalah harus mengacu kepada peningkatan bagi kesejahteraan masyarakat dan bagi percepatan pertumbuhan perekonomian masyarakat.
Daerah yang pernah melakukan perjanjian dengan metode bangun guna serah ini atau Build Operate Transfer (BOT) salah satunya adalah perjanjian Pemerintah Kota Padang dengan pihak swasta yaitu PT. Cahaya Sumbar Raya dalam pembangunan Sentral Pasar Raya.
Sejalan dengan alasan yang diajukan oleh pihak investor dalam memilih bentuk kerja sama ini dikarenakan mereka melihat potensi yang ada di Kota Padang yang dapat dikembangkan dalam bentuk kerja sama investasi. Mereka menganggap kerja sama dengan sistem build operate and transfer (BOT) sebagai solusi untuk melakukan perjanjian yang saling menguntungkan karena sebagai pemilik modal mereka tidak memiliki lahan sebagai salah satu faktor penting untuk dikembangkan dalam usaha.
Beberapa hal yang layak dijadikan pertimbangan dalam memilih BOT didasarkan pada kepentingan Pemerintah :
1.    Perjanjian ini tidak membebani neraca pembayaran Pemerintah (Off Balanced-Sheet Financing)
2.    Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya
3.    Perjanjian BOT merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan (Additional financing source for priority project)
4.    Pemerintah mendapatkan tambahan fasilitas baru
5.    Upaya dalam mengalihkan resiko bagi kontruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada sektor swasta
6.    Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi asing.
7.    Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara berkembang
8.    Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa berakhirnya konsesi.
Adapun tujuan dari kerja sama pemerintah daerah Kota Padang dengan pihak swasta yaitu PT. Cahaya Sumbar Raya yaitu Bagi Pemerintah Daerah, pembangunan infrastruktur dengan metode BOT menguntungkan, karena dapat membangun infrasturktur dengan biaya perolehan dana dan tingkat bunga yang relatif rendah. Pemerintah Daerah juga tidak menanggung resiko kemungkinan terjadinya perubahan kurs. Bagi investor, pembangunan infrasruktur dengan pola BOT merupakan pola yang menarik, karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap infrastruktur yang dibangunnya. Namun dengan kerja sama ini dapat menguntungkan para pihak yang berjanji.
Akan tetapi sistem BOT juga memiliki kemungkinan resiko diluar dugaan yang diharapkan proyek. Antara lain:
a.    Political risk
Resiko yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah dan kondisi daerah setempat.
b.    Economic risk
Resiko yang berkaitan dengan kondisi ekonomi. Seperti penurunan nilai mata uang, terjadinya inflasi dan sebagainya.
c.    Legal risk
Yaitu resiko yang berkaitan dengan hukum, karena pada dasarnya proyek ini didasarkan pada sebuah perjanjian.
d.    Transaksi risk
Berhubungan dengan persaingan penawaran proyek (bidding competition) termasuk didalamnya undangan lelang, penawaran serta negosiasi, berbagai dokumen proyek yang terjadi pada awal proses BOT.
e.    Contruction risk
Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan, apakah bangunan tersebut telah sesuai dengan standar bangunan secara teknik. Bangunan akan diuji ketahanannya. Serta hal yang berkaitan dengan lamanya waktu pembangunan.
f.     Social risk
Resiko yang berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Apakah pada proyek tersebut mendapat dukungan dari masyarakat ataupun sebaliknya. Pengaruh agama dan budaya setempat terhadap proyek tersebut.
g.    Environtmental risk
Yang berkaitan dengan lingkungan sekitar. Setiap proyek pembangunan harus mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Melakukan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), supaya tidak terjadi kerusakan lingkungan.
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam kerja sama build operate and transfer (BOT) ini, tidak hanya melihat pada pertimbangan ekonomi saja, melainkan faktor politik, sosial dan budaya masyarakat setempat dan hal-hal lain yang akan sangat mempengaruhi proses pelaksanaan kerja sama ini. Faktor-faktor tersebut menjadi konsekwensi yang harus diperhatikan dalam melakukan kerja sama ini. Mengingat di Indonesia belum ada peraturan khusus tentang perjanjian BOT ini begitupun yang mengatur tentang kerja sama pihak swasta dengan Pemerintah khusus dalam pembangunan konstruksi. Hanya ada dalam Peraturan Presiden No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan jasa dan beberapa ketentuan hukum lainnya yang menyinggung sedikit tentang perjanjian ini. Walaupun begitu menurut gambaran garis besar yang didapat peneliti baik dari pihak Pemerintah Kota Padang ataupun pihak investor menyatakan tidak terdapat kendala yang amat berarti yang dapat menghambat proses terjadinya perjanjian dan dalam pelaksanaan perjanjian, mulai pembangunan sampai saat ini yang sudah berjalan kurang lebih empat tahun. Kendala-kendala yang dirasakan para pihak selama ini yaitu sebagai berikut :
1.    Kendala yang menyangkut lamanya perjanjian :
Secara umum perjanjian ini memang saling menguntungkan, namun jangka waktu perjanjian yang berlangsung lama nyaris satu generasi dikhawatirkan mempengaruhi kekonsistenan dari para pihak dari perjanjian yang telah dibuat. Begitupun dengan kondisi bangunan tidak bisa dipastikan akan tetap berfungsi dengan baik setelah digunakan selama 25 tahun lamanya. Kendala ini dapat dihindari dengan penetapan waktu yang pasti di dalam perjanjian sampai pada kesempatan untuk memperpanjang kerja sama nantinya. Serta sesuai dengan dengan asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak sebagai acuan perjanjian, dan segala sesuatu hal harus berdasarkan persesuaian kehendak dari kedua pihak. Pelaksanaan sistem kerja sama BOT ini merupakan pengembangan dari suatu hak sewa untuk bangunan pada sebuah lahan. Berkaitan dengan itu hukum pertanahan kita yang memperkenankan adanya perbedaan kepemilikan dan perbuatan hukum antara tanah dan bangunan secara terpisah dan berdiri sendiri (asas pemisahan horizontal). Untuk bukti pemilikan tanah oleh Pemerintah diberikan suatu surat bukti hak berupa Sertifikat Hak Atas Tanah, seharusnya ada pengaturan khusus dari azas pemisahan horizontal ini dengan suatu alat bukti kepemilikan atas bangunan agar lebih pasti dalam perlindungan hak pemilik bangunan pada saat itu.
2.    Kendala menyangkut pengosongan lahan
Kendala lain dalam perjanjian ini yaitu dalam hal pengosongan lahan yang dilakukan oleh pihak kedua. Terutama dalam memindah sementarakan pedagang lama yang berdagang di lokasi dan pengosongan areal dari bangunan-bangunan lama, seperti kios-kios yang masih memiliki kontrak beberapa tahun, sehingga muncul kebijakan dari Walikota untuk menghapus hak dan menggantikannya dengan pengelolaan kios selama beberapa tahun sesuai dengan hitungan terkini. Lokasi yang berada pada pusat keramaian dan dahulunya merupakan terminal oplet yang sudah dialihkan ke Terminal Bingkuang. Walaupun telah dialihkan tetap saja menimbulkan kemacetan karena oplet-oplet banyak berhenti di sekitar jalan menjadi konsekwensi tersendiri jika membangun pusat perbelanjaan di pusat Kota. Upaya untuk mengatasi permasalahan ini dengan koordinasi yang dilakukan antara dinas-dinas terkait seperti dari pihak Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Perhubungan, Kimpraswil (Pemukiman dan Prasarana Wilayah), Dinas Perhubungan dan dinas terkait lainnya dengan berbagi peran sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
3.    Kendala yang menyangkut pembagian hasil.
Terlambatnya proses pengembangan berlangsung karena semua kios belum terjual banyak sehingga bagi hasil tidak bisa segera dilakukan Bagi hasil di sini dikarenakan perbedaan persepsi tentang dimulainya pembagian hasil dari kedua belah pihak. Pihak pemerintah Kota Padang beranggapan pembagian hasil dawali sejak diresmikan sedangkan dari pihak Investor pada saat gedung sudah terjual. Kendala ini dapat dihindari dengan penetapan waktu yang pasti di dalam perjanjian serta kedua belah pihak sepakat jika terjadi perbedaan pendapat diselesaikan dengan musyawarah yang diakhiri dengan kesepakatan bersama yang tidak merugikan salah satu pihak manapun.
4.    Kendala yang berkaitan dengan kondisi alam
Mengingat kondisi alam Sumatera Barat yang rawan bencana alam terutama gempa. Maka hal ini menjadi salah satu kendala sulitnya menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di sini. Sehingga menjadi sebuah keharusan untuk melakukan pengamanan dengan membuat kerja sama dengan pihak Asuransi.
5.    Kendala yang menyangkut pajak dan retribusi
Kendala ini dirasakan oleh pihak investor dalam hal pengelolaan pasar bahwa kebijakan Pemerintah Kota tentang penetapan pajak yang cukup memberatkan bagi mereka.
6.    Kendala Social Risk
Banyak protes dari ribuan pedagang kecil dan menengah di jantung kota Padang itu. Karena areal lokasi pembangunan semula sebagian juga berfungsi sebagai Terminal Lintas Andalas sebagai terminal angkutan kota (buskota dan mikrolet). Pemindahan terminal waktu itu pada saat berdampak serius terhadap omzet pedagang.
Selain kendala yang berasal dari pelaksanaan perjanjian juga ada hal-hal lain seperti perjanjian kerja sama yang dilakukan sampai saat ini belum ada aturan pasti yang mengatur tentang kerja sama dengan sistem build operate and transfer (BOT) baik dalam bentuk produk undang-undang ataupun peraturan di bawahnya. Ketentuan yang menjadi sandaran dari perjanjian kerja sama ini adalah asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Kitab Undang-undang hukum perdata pada pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Secara umum dalam upaya penyelesaian perselisihan bila terjadi sengketa di dalam setiap kerja sama dilakukan oleh para dikemudian hari, sepakat diselesaikan dengan musyawarah sesuai dengan asas yang dianut dalam perjanjian kerja sama ini. Kerja sama antara Pemerintah Kota Padang dengan PT. Cahaya Sumbar Raya juga mengawali penyelesaian permasalahan dengan jalan musyawarah. Namun apabila tidak selesai dengan jalur musyawarah maka ditempuh melalui BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Apabila kedua upaya yang dilakukan tidak berhasil diselesaikan, maka kedua belah pihak sepakat untuk menempuh jalur hukum dengan domisili hukum yang tetap dan tidak berubah yaitu pada Pengadilan Negeri Padang sesuai dengan yang tercantum pada klausula kontrak kerja sama.
Oleh karena itu pengaturan hukum yang jelas berkaitan dengan perjanjian antara pemerintah daerah Kota Padang dengan investor dirasa sangat dibutuhkan terutama Peraturan Perundang-undangan yang lebih konkret, oleh karena peraturan yang ada kini belum merinci tentang kerja sama build operate and transfer (BOT) ini, sehingga tidak menimbulkan kendala dikemudian hari karena terdapat acuan yang pasti.
Selain itu harus dilakukan studi kelayakan yang lebih spesifik terutama dari segi keuangan dan kepentingan masyarakat karena perjanjian ini berkaitan dengan banyak aspek yaitu aspek lingkungan, sosial, politik maupun ekonomi. Terakhir diharapkan Pemerintah Kota Padang lebih memperhatikan lagi dampak positif dan dampak negatif dari munculnya pusat-pusat perbelanjaan modern yang ada di Kota Padang. Terutama menyangkut posisi pusat-pusat perbelanjaan di tengah Kota yang menjadi salah satu pendorong kesemrautan lalu lintas.